Kepolisian Republik Indonesia resmi memperkenalkan 25 robot AI—terdiri dari humanoid dan unit K9 digital—yang akan membantu patroli, deteksi zat berbahaya, dan forensik. Peluncuran dilakukan di kawasan Monas, Jakarta, menandai babak baru dalam transformasi digital sektor keamanan nasional.
Dalam peresmian publik yang digelar akhir pekan lalu, Polri memamerkan teknologi canggih berbasis kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh tim lokal. Robot-robot ini dirancang untuk bekerja hingga delapan jam nonstop dan dibekali berbagai sensor untuk navigasi, pengenalan wajah, hingga pemrosesan data secara real-time.
Fungsinya mencakup pendampingan patroli di area publik, pengumpulan bukti forensik, serta deteksi bahan kimia berbahaya dalam situasi darurat. Unit robotik ini juga diintegrasikan dengan sistem komunikasi Polri, memungkinkan pelaporan dan analisis langsung di lokasi kejadian.
Kapolri menyatakan bahwa inovasi ini adalah hasil kolaborasi antara kepolisian, universitas teknik, dan startup AI lokal. “Ini bukti bahwa Indonesia bisa memimpin transformasi keamanan digital berbasis teknologi buatan anak bangsa,” ujarnya.
Namun, di balik kemajuan ini, muncul juga pertanyaan tentang dimensi etika dan sosial dari penggunaan robot dalam konteks hukum dan keamanan. Meskipun AI mampu meningkatkan efisiensi dan akurasi, banyak yang mengingatkan bahwa menjaga keamanan bukan hanya soal kecepatan atau data—tetapi juga soal empati, diskresi, dan rasa keadilan.
Transformasi digital Polri menunjukkan bahwa Indonesia tak hanya mengikuti tren global, tetapi juga menciptakan inovasi sendiri. Tantangan selanjutnya adalah memastikan bahwa teknologi yang canggih tetap digunakan dengan hati nurani—karena perlindungan masyarakat sejatinya tetap membutuhkan sentuhan manusia.
