Seorang mahasiswa yang diskors karena penggunaan alat bantu AI saat wawancara kini kembali dengan startup baru bernama Cluely. Meski kontroversial, perusahaan ini sudah meraih pendanaan sebesar $5,3 juta dan menghasilkan pendapatan tahunan $3 juta.
Roy, mantan mahasiswa Columbia University, menjadi sorotan setelah menciptakan Interview Coder, sebuah alat berbasis AI yang diam-diam membantu pengguna saat wawancara kerja. Ia menggunakannya untuk lolos seleksi magang di Amazon. Namun, pihak kampus menilai tindakannya sebagai pelanggaran etika akademik dan menjatuhkan sanksi skors.
Selain penggunaan alat tersebut, Roy juga menyebarkan rekaman sidang disipliner ke publik, yang memperburuk posisinya. Namun, alih-alih mundur, Roy mendirikan Cluely, sebuah platform AI baru yang lebih canggih dan kontroversial. Cluely memungkinkan pengguna menerima bantuan real-time selama wawancara, ujian, hingga panggilan penjualan, melalui jendela browser tersembunyi.
“Cluely bukan kecurangan, tapi alat bantu. Sama seperti kalkulator dan spellchecker di masa lalu,” ujar Roy dalam video peluncuran produk yang menuai reaksi beragam.
Namun, sejumlah kalangan profesional dan akademisi mempertanyakan etika penggunaan Cluely. “Alat ini bukan lagi mendukung, tapi merusak integritas sistem seleksi dan pendidikan,” kata seorang pakar etika AI yang menolak disebutkan namanya.
Meski demikian, Cluely berhasil menarik perhatian investor, termasuk dari sejumlah firma modal ventura di Silicon Valley. Dengan pendapatan yang sudah menembus jutaan dolar, startup ini menunjukkan daya tarik pasar meski menimbulkan kekhawatiran soal etika.
Kasus Cluely membuka kembali perdebatan lama soal batas antara inovasi dan manipulasi. Di tengah gelombang adopsi AI, dunia pendidikan dan industri kini menghadapi tantangan baru: bagaimana menyesuaikan aturan tanpa menghambat kemajuan teknologi.
