Dua kabar besar mengguncang dunia teknologi awal Agustus 2025. Elon Musk membuka akses gratis Grok 4—model AI kelas atas milik xAI—ke seluruh dunia untuk waktu terbatas, sementara di Indonesia, Kementerian Hukum menguji sistem AI untuk mempercepat pembuatan undang-undang.
Grok 4 digambarkan sebagai AI berkecepatan tinggi dengan kemampuan analisis setara GPT-4 dan Claude 3.5. xAI menyediakan dua mode: Auto Mode, yang menyesuaikan model dengan tingkat kompleksitas pertanyaan, dan Expert Mode, yang selalu menggunakan Grok 4 penuh daya. Selama promosi, pengguna dapat melakukan pemrograman, riset, hingga eksperimen AI tanpa batas kuota prompt, meski fitur premium seperti multi-agent masih terkunci.
Sementara itu di Jakarta, Badan Strategi Kebijakan (BSK) Hukum bersama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) meluncurkan Grand Desain Sistem AI DJPP. Sistem ini memanfaatkan AI untuk membaca ribuan dokumen hukum, mendeteksi pasal tumpang tindih, memberi rekomendasi harmonisasi, dan mendokumentasikan proses legislasi secara digital. Tujuannya: membuat regulasi lebih cepat, presisi, transparan, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Pakar menilai, kedua inisiatif ini—meski berbeda konteks—menunjukkan percepatan adopsi AI di berbagai sektor. Di tingkat global, pembukaan akses gratis Grok 4 dapat memperluas literasi dan eksperimen AI di kalangan pengembang dan peneliti. Di tingkat nasional, penggunaan AI di ranah hukum berpotensi meningkatkan kualitas tata kelola dan kepastian hukum.
Namun, baik Musk maupun pejabat Indonesia sama-sama menekankan bahwa AI hanyalah alat. Keputusan akhir, baik di meja kerja kreator maupun di ruang rapat legislasi, tetap berada di tangan manusia.
Dari laboratorium pengembang di Silicon Valley hingga kantor legislasi di Jakarta, AI kini bergerak cepat memasuki inti proses kreatif dan pemerintahan. Tantangannya adalah memastikan inovasi ini berjalan seiring etika, keamanan, dan manfaat yang merata bagi semua pihak.
