Denmark tengah menyusun regulasi baru yang memberi hak cipta atas wajah dan suara individu untuk mencegah penyalahgunaan teknologi deepfake.
Langkah ini bertujuan melindungi identitas digital warga dari pemalsuan yang kian marak di era kecerdasan buatan. Jika disahkan, regulasi ini akan menjadi salah satu kebijakan paling progresif di dunia terkait perlindungan data biometrik.
Dalam rancangan aturan tersebut, individu akan memiliki hak untuk meminta penghapusan konten yang meniru wajah atau suara mereka tanpa izin. Selain itu, korban penyalahgunaan dapat menuntut ganti rugi, dan platform digital yang tidak mematuhi permintaan penghapusan bisa dikenai sanksi hukum.
Namun, regulasi ini tetap memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Konten parodi dan satire tetap diperbolehkan selama disertai label yang jelas sebagai hasil AI dan tidak menyesatkan publik.
Langkah Denmark ini menjadi perhatian global di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap penyebaran konten deepfake, terutama yang digunakan untuk manipulasi politik, penipuan, atau perusakan reputasi. Menurut laporan Europol, penyalahgunaan teknologi deepfake telah meningkat tajam sejak 2023.
“Penting bagi negara-negara demokratis untuk menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan hak asasi manusia,” ujar juru bicara Kementerian Kehakiman Denmark.
Wacana ini juga relevan bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang tengah bersiap menghadapi era AI secara lebih luas. Pakar keamanan digital menekankan pentingnya literasi teknologi sejak dini dan mendorong kebijakan lokal yang serupa.
“Anak-anak kita akan tumbuh di dunia yang berbeda, dan mereka harus tahu bahwa identitas digital mereka juga bernilai dan harus dilindungi,” kata pengamat teknologi dari AI Lab.
Rancangan undang-undang ini diperkirakan akan diajukan ke parlemen Denmark akhir tahun ini, dan bisa menjadi preseden penting dalam pengaturan etika AI di tingkat global.
