Kalimat sopan seperti “please” dan “thank you” mungkin terdengar sepele. Namun menurut CEO OpenAI, Sam Altman, kesopanan digital itu ternyata menyumbang tagihan listrik tahunan yang sangat besar. Alasannya? Kalimat sopan membuat beban kerja AI jadi lebih berat.
Dalam sebuah pernyataan baru-baru ini, Altman mengungkap bahwa kalimat yang panjang, sopan, dan kompleks membutuhkan lebih banyak daya komputasi saat diproses oleh model seperti ChatGPT. “Kami menghabiskan puluhan juta dolar tiap tahun hanya untuk memproses kata-kata sopan,” ungkapnya.
Contohnya, jika pengguna menulis:
“Could you please help me summarize this? Thank you so much!”
…itu berbeda secara teknis dibanding sekadar menulis:
“Summarize this.”
Kalimat pertama memuat lebih banyak kata, struktur kalimat yang kompleks, dan konteks emosi. Semua itu membuat model harus bekerja lebih keras—dan konsumsi listrik pun meningkat. Mengingat jutaan permintaan diproses setiap detik, perbedaan kecil ini bisa berdampak besar dalam skala global.
Namun, Altman menegaskan bahwa interaksi manusiawi tetap penting. “AI harus terasa seperti mitra, bukan mesin dingin,” ujarnya. Artinya, pengalaman pengguna dan nilai-nilai budaya seperti kesopanan tetap dijaga, meski ada biaya tersembunyi yang menyertainya.
Fenomena ini memunculkan dilema baru: haruskah kita tetap mengajarkan kesopanan dalam interaksi dengan AI, terutama di budaya seperti Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun? Atau sebaliknya, membiasakan gaya komunikasi yang to the point demi efisiensi energi?
Kesopanan digital kini punya dampak fisik—dari beban server hingga konsumsi daya. Tantangan ke depan adalah bagaimana merancang AI yang tetap memahami nuansa sosial, namun efisien secara teknis. Di era AI, sopan santun pun butuh optimasi.
